DPD RI – Komite I DPD RI menggelar Rapat Kerja dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Republik Indonesia membahas tentang sengketa tanah di daerah, di Ruang Rapat Komite I Komplek Parlemen Senayan Jakarta, Rabu, 20 November 2019.
Rapat Kerja tersebut dihadiri Ketua Komite I Teras Narang, Wakil Ketua Komite I Fachrul Razi, Abdul Kholik, dan Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra. Ketua Komite I Teras Narang dalam rapat tersebut menyampaikan walaupun sudah ada payung hukum, persoalan agraria masih saja terjadi khususnya konflik pertanahan. Konflik agraria yang terjadi di daerah-daerah, diperlukan adanya legislasi dan regulasi pertanahan yang benar dan berkeadilan, lembaga/administrator negara yang terlatih, sistem administrasi pertanahan yang kuat dan akurat, peta konflik agraria yang tepat, komitmen dan dukungan pemerintah yang kuat, serta sarana dan prasarana yang memadai.
“Masalah pertanahan termasuk tata ruang menjadi perhatian Komite I, dan kami sudah menjalin komunikasi baik dengan Komisi 2 DPR terkait hal ini. Saya kira harus ada spirit yang sama melihat persoalan. Kami harap dengan Kementerian ATR/BPN terjalin komitmen untuk sama-sama memecahkan persoalan tanah ini apalagi banyak tumpang tindih dalam pengurusan tanah antara Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, oleh karena itu perlu one map policy agar tidak tumpang tindih” jelas Teras Narang dalam rapat kerja tersebut.
Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Surya Tjandra memaparkan bahwa Land Reform menjadi tujuan utama dari Kementerian, terutama penyelesaian konflik-konflik terkait agraria. Ia menyebutkan di Kementerian ATR/BPN ada dua istilah yaitu konflik agraria dan sengketa agraria.
“Sesuai program Pak Jokowi kami terus mengejar target pemerintah yaitu pelaksanaan reforma agraria dalam tahap pertama RPJMN 2015-2019 sudah dilakukan 9 juta hektar kegiatan legalisasi aset dan redistribusi tanah sebagai langkah land reform. Selain itu perlu juga Namanya aset reform dan akses reform ini perlu kita pikirkan, tidak cuma dikasih tanah tapi harus bisa digunakan secara produktif itu tanah, harapanya ke depan ada digitalisasi sertifikat pada tahun 2025 akan segera kita wujudkan,” ujar Surya Tjandra.
Pada kesempatan yang sama, Dirjen Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah Agus Widjayanto menyebutkan gambaran sengketa konflik pertanahan yang ditangani banyak sekali dan banyak yang belum selesai meskipun sudah ada keputusan.
“Sudah lebih ribuan kasus kami selesaikan pada tahun 2019, tapi ada 2700 lebih kasus baru yang muncul. Penyelesaian kasus ini sifatnya administratif dan setiap keputusan yang keluar selalu digugat dan seolah-olah tidak selesai, dan gugatan baru dianggap kasus yang baru. Ini harus kita lihat bahwa masalah ini bukan domain kita semata ada juga tapi terkait juga Kepolisian, Kejaksaan, Kementeian Keuangan terkait aset, dan Kementerian LHK sehingga dalam kasus-kasus tertentu perlu MoU dan kordinasi tapi tetap sulit mengambil kesepakatan,” ucap Agus.
Komite I melihat begitu pentingnya Reforma Agraria bagi kesejahteraan masyarakat, Pemerintah periode 2015-2019 telah menjadikan Reforma Agraria sebagai salah satu agenda utama Pemerintahan yang dicapai melalui dua skema: 1) legislasi dan redistribusi lahan (seluas 9 juta hektar); dan 2) program perhutanan sosial (seluas 12,7 juta hektar). Namun realisasi 9 juta hektar tanah yang menjadi target periode 2015-2019 masih rendah, yakni 545.425 bidang atau 412.351 Ha, bandingkan dengan legalisasi yang mencapai lebih 12 juta bidang. Namun komitmen dan dukungan pemerintah yang kuat, serta sarana dan prasarana yang memadai. Reforma Agraria patut untuk terus dicermati agar jangan sampai Reforma Agraria hanya sekedar menjadi janji politik tanpa hasil yang nyata. (*)